Hubungan antara inflasi dan pengangguran dalam kurva Phillips
Dalam ilmu ekonomi , inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator (http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi).
Menurut J.M Keyness, hubungan antara variavel moneter dengan variabel ekonomi riil sangat kuat. Model klasik menyatakan bahwa harga termasuk upah ditentukan oleh mekanisme pasar dan penyesuaian upah nomial tidak ada pada periode tertentu. Model Keynessian menyatakan bahwa ada kemungkinan kuantitas penawaran dan permintaan tenaga kerja tidak sama dan kemungkinan yang sering terjadi adalah kelebihan penawaran tenaga kerja. Hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pengangguran tenaga kerja dijelaskan oleh Kurva Phillips yang menyatakan bahwa tingkat upah nominal pada periode tertentu dapat dijelaskan oleh tingkat pengangguran sekarang (Manurung,2009:223).
Dari definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi (Rahardja dan Manurung,2008:249):
a. Kenaikan harga
b. Bersifat umum
c. Berlangsung terus menerus
Sedangkan pengertian dari pengangguran yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik, antara lain pengangguran terbuka (open unemployment) didasarkan pada konsep seluruh angkatan yang mencari pekerjaan, baik yang mencari pekerjaan pertama kali atau yang pernah bekerja sebelumnya. Sedangkan setengah penganggur adalah pekerja yang masih mencari pekerjaan penuh atau sambilan dan mereka yang bekerja dengan jam kerja rendah atau kurang dari 35 jam kerja dalam seminggu, setengah penganggur sukarela adalah setengah penganggur tapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (pekerja paruh waktu). Setengah penganggur terpaksa adalah setengah penganggur yang mencari dan bersedia menerima pekerjaan. Pekerja digolongkan setengah penganggur parah bila ia termasuk setengah menganggur dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu (Kuncoro,2006:228).
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnyaGNP dan pendapatan per kapita suatu negara . Di negara-negara berkembang seperti Indonesia , dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh banyak orang (http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran).
Pada tahun 1958, pada dasawarsa dimana para pemikir ekonomi sedang ramai-ramainya bertukar pikiran mengenai teori inflasi, A.W. Phillips berhasil menemukan hubungan yang erat antara tingkat pengangguran dengan tingkat perubahan upah nominal. Penemunannya ini diperolehnya dari hasil pengolahan data empirik perekonomian inggris untuk periode 1861-1957. Kurva phillips yang menghubungkan persentase perubahan tingkat upah nominal dengan tingkat pengangguran seperti diuraikan di atas biasa disebut dengan kurva phillips dalam bentuk asli. Di samping itu, ada juga kurva phillips dalam bentuk versi baru yang biasa disebut dengan kurva phillips yang sudah direvisi yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi(Reksoprayitno,2000:190).
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Phillips_curve
|
Kurva Phillpis dalam bentuk revisi
|
Kurva Phillpis dalam bentuk asli dan cara menurunkannya
|
Argumentasi untuk menjelaskan kurva phillips di atas dirumuskan dengan formulasi sebagai berikut (Yuliadi,2008:78):
Laju inflasi = Tingkat kenaikan upah – Tingkat kenaikan produktivitas
Dari kurva phillips tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pengangguran semakin cepat kenaikan tingkat upah dan harga; dan semakin tinggi harapan inflasi akan semakin cepat pula kenaikan tingkat upah (Suparmoko,2000:222).
Inflasi sebagai perusak perekonomian
Inflasi merupakan masalah ekonomi yang dominan di samping masalah pengangguran yang sudah sejak lama dihadapi oleh masyarakat di seluruh dunia. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah adalah Jerman yang mengalami “hyper-inflation” pada awal tahun 1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunnya(Iswardono,1996:213).
Inflasi senantiasa merupakan ‘hantu’ yang mencekam perekonomian. Inflasi adalah kenaikan harga yang berlangsung secara terus menerus. Kenaikan harga yang berlangsung sekali atau dua kali saja, lalu reda kembali bukan inflasi namanya. Kenaikan harga insedental seperti ini sering kita jumpai, misalnya menjelang datangnya bulan Ramadhan atau Idul Fitri. Menjelang saat istimewa seperti itu, permintaan orang akan barang dan jasa meningkat. Oleh karenanya supply tidak dapat menyusul demand sehingga menyebabkan kenaikan harga. Nanti sesudah lebaran, permintaan masyarakat turun lagi ke tingkat normal dan hargapun turun pula. Hal ini bukan disebut sebagai inflasi (Rosyidi,2005:131).
Inflasi terjadi ketika tingkat harga umum naik. Tingkat inflasi adalah persentase perubahan pada indeks harga dari satu periode ke periode berikutnya. Indeks harga pokok adalah indeks harga konsumen (CPI) dan GDP Deflator. Seperti penyakit, inflasi bersal dari banyak sebab. Terkadang, inflasi yang melambung menyebabkan harga naik sebesar 50 atau 100 persen bahkan sampai 200 persen setiap tahunnya. Inflasi berlebihan ketika mencetak uang untuk menekan mata uang dan harga mulai naik setiap bulan.
Inflasi mempengaruhi perekonomian melalui redistribusi pendapatan dan kekayaan dan melalui ketidakefisienan. Inflasi yang tidak terantisipasi sering menguntungkan debitur, pencari keuntungan dan spekulan yang siap menerima resiko. Hal tersebut merugikan kreditur, kelas pendapatan tetap dan menakuti investor. Inflasi menimbulkan penyimpangan pada harga relatif, tarif pajak, dan tingkat bunga nyata. Orang-orang lebih sering pergi ke bank, pajak naik perlahan, dan ukuran pendapatan mungkin akan terdistorsi atau terganggu. Dan ketika bank sentral mengambil langkah untuk menurunkan inflasi, biaya nyata untuk menurunkan output dan ketenagakerjaan bisa menjadi begitu besar.
Inflasi juga menimbulkan sejumlah efek bencana lain, yaitu mendistorsi dasar perekonomian diantaranya kalkulasi bisnis. Karena harga-harga tidak berubah secara serentak, hal ini menyulitkan bisnis dalam membedakan mana perubahan yang sementara dan langgeng, akan sulit bagi bisnis untuk mengukur permintaan sejati konsumen ataupun biaya operasional sejati mereka (Syahdan,2007:49).
Setiap saat, perekonomian memiliki tingkat inflasi inertial atau tingkat inflasi yang diharapkan. Inilah tingkatan dimana orang-orang mulai mengantisipasi dan mempertimbangkannya dalam kontrak kerja dan perjanjian lainnya. Tingkat inflasi inertial merupakan keseimbangan jangka pendek dan bertahan sampai terjadi goncangan ekonomi.
Pada kenyataannya, perekonomian terus mengalami goncangan harga. Goncangan terberat yang menjauhkan inflasi dari tingkat inertial adalah tarikan permintaan dan dorongan biaya. Inflasi tarikan permintaan berasal dari pengeluaran yang berlebihan untuk belanja barang, menyebabkan kurva permintaan keseluruhan bergeser ke kanan atas. Upah dan harga kemudian naik di pasaran. Inflasi dorongan biaya adalah fenomena baru pada perekonomian industri modern dan terjadi ketika biaya produksi naik walau pada masa tingginya pengangguran dan kapasitas tidak terpakai.
Kurva Phillips menunjukkan hubungan antara inflasi dengan pengangguran. Dalam jangka pendek, penurunan satu tingkat berarti menaikkan yang lainnya. Tetapi kurva jangka Phillips jangka pendek cenderung bergeser terus selama inflasi yang diharapkan dan faktor lainnya berubah. Apabila pembuat kebijakan bermaksud menjaga pengangguran di bawah NAIRU, inflasi akan cenderung naik.
Teori inflasi modern berpijak pada konsep NAIRU, yaitu tingkat pengangguran terendah yang dapat dinikmati tanpa resiko kenaikan inflasi. Hal ini mewakili tingkat pengangguran dari sumber daya dimana pekerja dan produk pasar berada dalam keseimbangan inflasi. Berdasarkan teori NAIRU, tidak ada pertukaran permanen antara pengangguran dan inflasi, dan kurva Phillips jangka panjang adalah vertikal(Samuelson dan Nordhaus,2004:407).
luffy ini sungguh menganggu ^^"
BalasHapusdapatkah dipndahkan??